Monday, August 6, 2018

APA AKU MEMANG BENAR-BENAR TELAH BENAR?


Melihat realita di era globalisasi ini, penerimaan informasi begitu pesat dan cepat. Bukan hanya litas kampung saja tetapi sudah lintas budaya bahkan negara. Siapa disini yang tidak mempunyai gadget? Membaca artikel sederhana ini juga pasti melalui gadget, kan? Hampir setiap partikel dimasyarakat mempunyai gadget yang berisikan kuota dimana mereka menggunakannya untuk bermedia sosial, mencari informasi dari berbagai belahan dunia ini.


Jangan jauh-jauh di dunia kampus saja, para mahasiswa bukan hanya berasal dari daerah tempat kampus itu berdiri. Ada dari kampung, kota, provinsi, pulau bahkan negara yang bebeda ada di dunia kampus. Tentunya, proses peleburan dan percampuran budaya, nilai, norma lebih cepat terjadi di dunia kampus.
Dalam lingkungan kampus UIN Bandung saja khususnya di jurusan Bimbingan dan Konseling Islam, ada beberapa mahasiswa yang diluar kota Bandung bahkan di luar negeri seperti Malaysia dan Thailand.
Proses interaksi antar individu terjadi disana, harusnya membuat cara pandang menjadi luas dan lebih toleran. Literasi antar budaya katanya bukan melulu melalui buku dan tulisan. Tetapi bertatap langsung, berdiskusi di waktu senja dalam suatu tema atau bukan dianggap menjadi proses literasi.
Dunia kampus “mengkampanye” kan proses literasi, buktinya hampur setiap tugas harus memuatkan referensi dari buku, jurnal, atau penelitian ilmiah. Proses literasi harusnya berorientasi kepada pendidikan. Dimana pendidikan itu sebagai ajang untuk memperkaya diri dari segi kognitif, sehingga berimplikasi kepada peningkatan apektif dan psikomotor yang lebih baik.
Kemudian, sudah jauh hari ada sebagian orang di dunia kampus membuat perkumpulan sesuai daerah, hobi, bakat, minat dll. nya agar memudahkan mengordinir apa keinginan kelompok tersebut. Membuka lahan diskusi dengan tunjuan proses pendidikan literasi lebih terjalin.
Ketika lintas budaya terjalin, ditambah perkembangan kognitif dan apektif dari proses pendidikan terus berlangsung. Implikasi yang diharapkan bagi para mahasiswa yaitu mereka lebih “oped minded” terhadap multi-perspektif terhadap suatu pendapat atau masalah.
Ketika seorang mahasiwsa -katakan A-  menanggapi suatu problem -katakanlah problematika politik kampus- kemudian dia memberikan suatu tanggapan dan pendapat atas problematika itu dan memperkuat argumennya dengan kutipan-kutipan dari tokoh yang menurut dia relevan dengan prolem tersebut. Ditambah hasil diskusi bulanan ataupun harian yang diagendakan oleh dia dengan temannya untuk memperkuat argumennya dalam menanggapi promblematika tersebut. Disisi sana, ada seseorang yang lain -katakan B- menanggapi problematika tersebut dengan cara pandang yang bebeda, dan metodenya pun berbeda namun tak menghilangkan substansinya yaitu memecahkan prolem tersebut. Ketika proses literasi berhasil, maka dua orang berbeda ini akan saling melengkapi dan saling memberikan support untuk terpecahnya masalah tersebut.

Namun tak sedikit, dikasus yang sama, A merasa pendapatnya paling benar, dan layak untuk diterapkan untuk menjadi problem soving. Ini juga terjadi di B, dia merasa pendapatnya benar dan bisa untuk menjadi prolem solving. Kemudian tidak terjadi saling men-support atau mengkolaborasikan pendapatnya. Tetapi, A merasa paling benar dan menyebutkan bahwa pendapat yang lain tidak relevan untuk diterapkan kemudian mengkoreksi pendapat yang tak sejalur itu. Begitupula yang lain, melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh A. Penulis membuat hipotesa bahwa di momen seperti diataslah, terjadi cikal bakal perpecahan. Kemudian pertanyaanya sudah berhasilkan proses dari literasi? Atau malah selama ini yang terjadi adalah proses indoktrinasi?

No comments:

Post a Comment