Melihat realita
di era globalisasi ini, penerimaan informasi begitu pesat dan cepat. Bukan
hanya litas kampung saja tetapi sudah lintas budaya bahkan negara. Siapa disini
yang tidak mempunyai gadget? Membaca artikel sederhana ini juga pasti melalui
gadget, kan? Hampir setiap partikel dimasyarakat mempunyai gadget yang
berisikan kuota dimana mereka menggunakannya untuk bermedia sosial, mencari
informasi dari berbagai belahan dunia ini.
Jangan
jauh-jauh di dunia kampus saja, para mahasiswa bukan hanya berasal dari daerah
tempat kampus itu berdiri. Ada dari kampung, kota, provinsi, pulau bahkan
negara yang bebeda ada di dunia kampus. Tentunya, proses peleburan dan
percampuran budaya, nilai, norma lebih cepat terjadi di dunia kampus.
Dalam
lingkungan kampus UIN Bandung saja khususnya di jurusan Bimbingan dan Konseling
Islam, ada beberapa mahasiswa yang diluar kota Bandung bahkan di luar negeri
seperti Malaysia dan Thailand.
Proses
interaksi antar individu terjadi disana, harusnya membuat cara pandang menjadi
luas dan lebih toleran. Literasi antar budaya katanya bukan melulu melalui buku
dan tulisan. Tetapi bertatap langsung, berdiskusi di waktu senja dalam suatu
tema atau bukan dianggap menjadi proses literasi.
Dunia kampus
“mengkampanye” kan proses literasi, buktinya hampur setiap tugas harus
memuatkan referensi dari buku, jurnal, atau penelitian ilmiah. Proses literasi
harusnya berorientasi kepada pendidikan. Dimana pendidikan itu sebagai ajang
untuk memperkaya diri dari segi kognitif, sehingga berimplikasi kepada
peningkatan apektif dan psikomotor yang lebih baik.
Kemudian, sudah
jauh hari ada sebagian orang di dunia kampus membuat perkumpulan sesuai daerah,
hobi, bakat, minat dll. nya agar memudahkan mengordinir apa keinginan kelompok
tersebut. Membuka lahan diskusi dengan tunjuan proses pendidikan literasi lebih
terjalin.
Ketika lintas
budaya terjalin, ditambah perkembangan kognitif dan apektif dari proses
pendidikan terus berlangsung. Implikasi yang diharapkan bagi para mahasiswa
yaitu mereka lebih “oped minded” terhadap multi-perspektif terhadap
suatu pendapat atau masalah.
Ketika seorang
mahasiwsa -katakan A- menanggapi suatu
problem -katakanlah problematika politik kampus- kemudian dia memberikan suatu
tanggapan dan pendapat atas problematika itu dan memperkuat argumennya dengan
kutipan-kutipan dari tokoh yang menurut dia relevan dengan prolem tersebut.
Ditambah hasil diskusi bulanan ataupun harian yang diagendakan oleh dia dengan
temannya untuk memperkuat argumennya dalam menanggapi promblematika tersebut.
Disisi sana, ada seseorang yang lain -katakan B- menanggapi problematika
tersebut dengan cara pandang yang bebeda, dan metodenya pun berbeda namun tak
menghilangkan substansinya yaitu memecahkan prolem tersebut. Ketika proses
literasi berhasil, maka dua orang berbeda ini akan saling melengkapi dan saling
memberikan support untuk terpecahnya masalah tersebut.
Namun tak
sedikit, dikasus yang sama, A merasa pendapatnya paling benar, dan layak untuk
diterapkan untuk menjadi problem soving. Ini juga terjadi di B, dia
merasa pendapatnya benar dan bisa untuk menjadi prolem solving. Kemudian
tidak terjadi saling men-support atau mengkolaborasikan pendapatnya.
Tetapi, A merasa paling benar dan menyebutkan bahwa pendapat yang lain tidak
relevan untuk diterapkan kemudian mengkoreksi pendapat yang tak sejalur itu.
Begitupula yang lain, melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh A.
Penulis membuat hipotesa bahwa di momen seperti diataslah, terjadi cikal bakal
perpecahan. Kemudian pertanyaanya sudah berhasilkan proses dari literasi? Atau
malah selama ini yang terjadi adalah proses indoktrinasi?